Search

16 Maret 2008

Kontroversi di Balik ‘Ayat-ayat Cinta’

Novel ‘Ayat-ayat Cinta’ yang sudah 30 kali cetak ulang dengan tiras 500 ribu eksemplar ternyata mengundang kontroversi. Kalangan Islam tertentu menuduh penulisnya agen Zionis. Benarkar?

Tak Punya Ayat-ayat Cinta? Datang Saja ke Islamic Book Fair. Begitu judul berita detikcom pada 1 Maret lalu. Situs ini sejatinya memberitakan tentang Islamic Book Fair ketujuh di Istora Senayan, Jakarta, mulai 1 Maret sampai 9 Maret. Novel karya Habiburrahman el-Shirazy ini sangat diminati banyak kalangan sehingga menjadi daya pikat untuk ditonjolkan sebagai judul.

Ya. Boleh dibilang novel ini memang fenomenal. Di samping soal cinta, dia mengajarkan bagaimana seorang muslim mengelola perasaannya dengan baik. Banyak yang menyebut inilah novel sastra yang berhasil memadukan dakwah, tema cinta dan latar belakang budaya suatu bangsa. Novel best seller pada tahun ini, sehingga produsen pun memfilmkannya serta merambah negeri Jiran Malaysia. Dia dipuji sekaligus dimaki.

Harian Republika menempatkan sang penulis ke posisi ‘Tokoh Perubahan 2007’. Tapi, majalah Islam Mujahidin justru menuduhnya sebagai agen Zionis, Israel. Mengapa?


Habiburrahman el-Shirazy, menurut Mujahidin, tak lebih seperti sastrawan dan budayawan Mesir Mahmud Abbas al-Aqqad, Thaha Husein dan lainnya, yang menjadi makelar zionis melalui gagasan multikultural dan multikeyakinan.

“Membaca novel Ayat-ayat Cinta menyisakan beragam kesan, mungkinkah penulisnya dianggap figur yang tepat sebagai makelar zionisme melalui misi pluralisme agama?” begitu risalah dalam Mujaidin edisi 17 Shafar 1429 H.

Menurut majalah ini, begitu gegap gempita publikasi novel Ayat-ayat Cinta, menyebabkan banyak pembaca kehilangan daya kritis. “Sehingga, ketika nyala api pluralisme menerobos masuk imajinasi penulis, tak dirasakan adanya. Pada mulanya, barangkali sekadar titipan ide, namun jelas titipan dimaksud menjadi ide sentral rangkaian kisah cerita novel ‘Ayat-ayat Cinta’.”

‘Kejadian di Dalam Metro’, berlangsung cekcok antara rombongan turis Amerika dengan penumpang asli Mesir yang meledakkan amarahnya kepada bule-bule itu, sebagai ganti kejengkelan mereka kepada pemerintah Amerika yang arogan dan membantai umat Islam di Afghanistan, Iraq, dan Palestina.

Rupanya pada bagian inilah yang menjadi titik masalahnya. “Dalam cekcok tersebut penulis menyalahkan orang Mesir, dan memosisikan turis kafir yang berkunjung ke negara-negara berpenduduk Islam seperti Mesir sebagai ahludz dzimmah yang memiliki hak-hak kekebalan diplomatik, dengan memanipulasi dalil agama.”

Dalam ‘Ayat-ayat Cinta’ disebutkan Ahlu dzimmah adalah semua non-Muslim yang berada di dalam negara kaum Muslimin, masuk secara legal, membayar visa, punya paspor, hukumnya sama dengan ahlu dzimmah, darah dan kehormatan mereka harus dilindungi. “Barangsiapa menyakiti orang dzimmi, dia telah menyakiti diriku, dan siapa yang menyakiti diriku berarti dia menyakiti Allah.”

Mengomentari kalimat tersebut Mujahidin menulis: “Menempatkan turis asing sebagai dzimmi di negeri Muslim bukan saja tidak memiliki argumentasi syar’iyah, tetapi juga merusak tatanan syar’i secara keseluruhan.”

Persoalannya, bukan pada perlakuan kasar atau halus terhadap turis, melainkan pada posisi yang disematkan, bahwa sesungguhnya kedudukan turis tidak sama dengan ahludz dzimmah, baik hak maupun kewajibannya. Pembayaran visa tidak bisa disamakan dengan jizyah. Sebab, legalitas hukum bagi turis dan ahludz dzimmah memiliki perbedaan-perbedaan, sehingga mengakibatkan konsekuensi hukum yang berbeda pula.

Perbedaan itu antara lain, pertama, ahludz dzimmah (dzimmi) adalah orang kafir yang menjadi warganegara Negara Islam. Sedangkan turis tidak memiliki hak kewarganegaraan, tetapi hanya memiliki hak pelayanan sebagai tamu. Kedua, dzimmi mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Bilamana pemerintah tidak bisa memenuhi hak kewarganegaraan orang dzimmi, maka mereka tidak wajib lagi membayar jizyah (pajak). Sedangkan pembayaran visa bagi turis yang berkunjung ke sebuah negara Islam tidak dapat dianggap sebagai jizyah, karena orang Islam yang bukan penduduk negara yang dikunjunginya juga harus membayar visa. Lalu Mujadin mempertanyakan: “Apakah orang Islam yang berkunjung ke negara Islam juga dianggap dzimmi oleh pemerintah negara tempat dia berwisata?”

Ketiga, lanjut Mujahidn, pada keadaan darurat, pemerintah negara Islam dapat mewajibkan penduduk dzimmi untuk menjalani wajib militer. Berbeda dengan turis, apabila datang ke suatu negara yang sedang dalam keadaan darurat perang tidak bisa dipaksa ikut wajib militer bagi negeri yang dikunjunginya.

“Perbedaan prinsip di atas, nampaknya kurang dipahami oleh penulis novel, dan lebih terpesona dengan misi kemanusiaan global yang menjadi gerak nafas pluralisme; sehingga menghilangkan kewaspadaan.”

Boleh jadi turis itu justru musuh yang sedang menyamar, meneliti, atau menjalankan misi intelejen. “Novelis muda lulusan filsafat Universitas Al-Azhar, Cairo, itu bergaya bagai ulama besar ahli fiqih dan ahli hadits berkaliber dunia, lalu mengintroduksi hadits dzimmi sebagai ‘ijtihad cemerlang’,” sindir Mujadin.

Selanjutnya Muhadin menulis: Untuk menetralisir kecurigaan, dan menangkal virus berbahaya terutama bagi pembaca muda yang jadi sasaran utama novel ini, sebenarnya penulis dapat mengimbanginya dengan wacana pemikiran yang adil, bahwa dalam banyak kasus kedatangan turis-turis kafir di negeri Islam membawa dampak kerusakan moral dan sosial di tengah masyarakat muslim.

Bahkan, tulisnya lagi, sebagian sengaja disusupkan sebagai mata-mata terselubung. “Fakta ini dapat terlihat jelas dan ditemukan oleh para pejabat intelijen negara bahwa turis biasa dipakai kedok olah para agen intelijen untuk menjalankan operasinya. Namun, penulis lebih mendahulukan ‘baik sangka’ daripada waspada, suatu sikap yang telah membuat umat Islam berulangkali tertipu dan dininabobokkan gagasan harmonisasi antar umat beragama, tanpa mempertimbangkan akibatnya yang berbahaya.”

Dilihat dari simplifikasi penggunaan dalil-dalil agama untuk menopang argumentasi, dan memanipulasi tujuan politik yang halus, tulis Mujahidin, merupakan ciri khas komprador zionisme yang bergentayangan di tengah-tengah masyarakat Muslim. Maka, bukan mustahil novel ‘Ayat-ayat Cinta’ menjadi pembuluh darah halus yang mengalirkan misi pluralisme agama yang telah diformat oleh zionisme internasional dan dipasarkan di tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Begitulah Mujahidin. Boleh jadi sang penulis tak menduga bakal mendapatkan serangan seperti itu.

Sesungguhnya novel ini adalah juga novel asmara. Kehidupan Fahri diwarnai dengan kisah hubungan lelaki dan perempuan. Perasaan Fahri diceritakan dengan baik ketika ia harus menjadi rebutan tiga orang perempuan. Pada bagian cerita bulan madu Fahri dan Aisha jelas sekali digambarkan terjadinya adegan percintaan yang selalu merupakan bagian penting dari disebutnya novel asmara. Di sinilah kelebihan lain novel ini yang menceritakan hubungan suami-istri namun tidak terjatuh ke dalam kevulgaran.

Pencinta sastra islami selama ini sering menuduh, sastra sekuler sebagai sastra profan (menurut Kamus Merriam-Webster, profane berarti ‘yang merendahkan atau menodai sesuatu yang suci’). Sementara di sisi lain, pencinta sastra sekuler menuduh sastra islami kehilangan nilai sastranya hingga buku sastra tidak lain adalah buku agama.

Hal ini bisa dipahami jika kita melihat bahwa banyak tulisan yang mengaku sebagai sastra islami menjadikan sastra sebagai alat berdakwah tetapi penulisnya lupa untuk menghias alat dakwah itu sendiri. Maka tersajilah pesan moral agama itu secara terbuka dan sangat jelas. Bagi sebagian kelompok orang, pesan-pesan seperti ini akan menjadi sesuatu yang vulgar.

Cara pandang Mujahidin terhadap “Ayat-ayat Cinta’ sah-sah saja. Akan tetapi bahwa ada kebaikan, cinta dan nilai yang diselipkan dalam karya sastra ini juga tidak bisa ditampik. Jadi biarlah pembaca yang menilai.

Kini, yang pasti, sangat langka karya sastra yang mampu menyedot begitu besar perhatian masyarakat untuk membeli, apalagi untuk karya sastra islami. Setelah Buya Hamka, sampai kini belum muncul penulis besar yang karya-karyanya berpengaruh dari kalangan santri. Inilah yang mesti menjadi pekerjaan rumah buat kita.

selengkapnya...

13 Maret 2008

BLOG UNTUK AKTIVITAS PR

Tak bisa dipungkiri lagi, sekarang perkembangan teknologi informasi membawa kita kedalam sebuah era dimana komunikasi bisa dilakukan secara interaktif dengan kemampuan akses langsung dan cepat. Dulu kita mengenal media massa hanya sebatas koran,tabloid,majalah dan media cetak lainnya. Lantas perkembangan itu beranjak kepada sebuah teknologi audio visual seperti televisi, radio yang tentunya juga membawa perkembangan dahsyat bagaimana cara kita melakukan komunikasi dengan seseorang. Pada era media cetak konsep komunikasi yang ditawarkan adalah komunikasi dengan satu arah. Dimana komunuikasi tersebut hanyalah bersifat pemberitahuan dari seorang komunikator kepada komunikan dengan sedikit mengabaikan efek. Maksudnya efek seorang audience (dalam hal ini mungkin pembaca) dapat tersempai keesokan harinya setelah media itu terbit.
Selang beberapa tahun kemudian era komunikasi juga berkembang menjadi konsep interaktif yaitu dengan adanya media radio dan televisi. Tentunya setiap perkembangan teknologi juga membawa implikasi yang ditimbulkan oleh perkembangan tersebut. Pada perkembangan tersebut, setiap individu bisa melaukan komunikasi secara langsung dengan komunikator. Banyak kita temui contohnya misalnya di sebauh stasiun televisi yang menayangkan sebuah layanan kuis interaktif diamana para komunikator yang tersebar di beberapa daerah dapat secara live mnejawab pertanyaan yang diajukan oleh pemabawa acara kuis tadi. Itulah sekelumit contoh layanan interaktif yang coba ditawarkan oleh media audio visual.
Perkembangan tekonologi memang tidak mengenal batas dan waktu. Setiap dimensi-dimensi yang belum tersingkap kini seolah-olah menunggu untuk dijelajahi dari masa ke masa. Jika dahulu kita hanya mengenal tv,radio sebagai puncak dari segala media, karena bisa berintaraksi secara langsung maka mungkin itu adalah pendapat yang keliru. Di era sekarang ini yang didukung oleh era kebebasan berpendapat setelah rezim Soeharto, media (apapun bentuk dan sifatnya) menjadi sebuah sarana yang ampuh untuk menuangkan aspirasi-aspirasi mereka yang terbungkam sejak orde baru. Kita sebagai masyarakat awam pun bisa menemui relaitas itu secara mudah. Tayangan republik mimpi misalnya, di era orde baru jangan harap kita menemukan acara sejenis di media manapun. Acara yang dipandu oleh begawan pakar komunikasi UI, Effendi Ghazali menjelma menjadi sebuah sarana yang ampuh untuk menuangkan kritik .
Perkembangan selanjutnya adalah ketika media audio visual masih dirasa kurang untuk menuangkan aspirasi masyarakat luas. Maka kemudian mereka melirik internet sebagai lahan utama untuk menuangkan kebebasan yang ingin mereka utarakan. Maka dari itulah para komunitas cyber internet mencoba membuat media baru yang benar-benar sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga munculah Blog.
Senada dengan hal itu, Menteri Negara Komunikasi dan Informatika RI, Muhammad Nuh pada Pesta Blogger yang diadakan di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, pada tanggal 27 Oktober yang lalu, mengungkapkan, sebagai generasi muda Indonesia, sudah selayaknya kita menyambut baik adanya satu bentuk berpendapat yang baru di negeri ini, terlebih pemerintah secara langsung telah menjamin kebebasan berpendapat melalui cara ini. Cara tersebut tak lain adalah melalui blog yang dewasa ini berkembang sangat pesat di dunia, termasuk di Indonesia. Bila media cetak yang salah memberikan pendapat di negeri ini sering dibredel, atau demonstran yang di luar batas akan diseret dan diamankan aparat, maka pemerintah sendiri telah membuat pembedaan bagi para blogger. “Tak ada pembredelan blogger. Bukan zamannya lagi ada pembatasan menulis dan berekspresi”. Ujarnya pada saat itu.
Tak cukup puas dengan perkembangan blog, maka banyak para komuniats blog ingin menggunakan sarana blog ini sebagai media publikasi,promosi dan aktualisasi diri. Maka tak heran jika banyak organisasi yang lain menggunakan media blog ini sebagai wadah komunikasi dengan para anggotanya. Sehingga dengan komunikasi inilah blog sering dikatakan media kehumasan.
Salah satu organisasi yang menggunakan blog sebagai media kehumasan adalah Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia Jawa Tengah (PW PII Jateng). Mereka menganggap media ini sebagai cara yang mudah,praktis serta efisien untuk berinteraksi antara jajaran pengurus dengan anggotanya yang tersebar di wilayah jawa tengah.
Menurut PW PII Jateng, pekembangan blog pada saat ini juga relatif mudah dapat diakses oleh siapapun sehingga kedepannya blog menjadi sangat potensial sebagai media alternatif kehumasan disamping majalah Media Pelajar (MP) sebagai satu-satunya media yang dimiliki oleh PW PII Jateng.
Disamping itu, PW PII Jateng termasuk organisasi yang independen dan tidak berafiliasi dengan ormas apapun, telah banyak melakukan kegiatan yang sesuai dengan visi mereka yaitu kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan Islam bagi segenap bangsa Indonesia dan ummat manusia. Sehingga PW PII Jateng ketika mengadakan kegiatan sudah barang tentu menjadikan visi tersebut sebagai pedoman utama ketika akan melaksanakan kegiatan. Sebagai contoh pada saat terjadinya gempa bumi yang melanda Yogayakarta dan sekitarnya, PW PII jateng melalui Koalisi Peduli Pelajar Pelajar Islam Indonesia (KPP PII) telah memberikan sumbangsih yang nyata untuk recovery pendidikan pelajar di berbagai wilayah tersebut. Sumbangsih nyata tersebut diwujudkan dalam bentuk pemberian bea siwa kepada pelajar kurang mampu, perbaikan sarana pendidikan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Selama kurang lebih tiga bulan, KPP PII juga banyak memberikan dorongan psikologis bagi para pelajar yang masih trauma dengan kejadian gempa.
Di bidang kegiatan internal, PW PII Jateng, juga tak melupakan pembangunan mental pelajar yang sesuai dengan keislaman. Sebagai contoh, ajang Basic Training (BATRA) yang merupakan gerbang bagi anggota baru untuk masuk di kepengurusan PII, telah banyak memberikan nutrisi ruhiyah,mental yang sesuai dengan keislaman. Sehingga ketika usai mengikuti kegiatan tersebut, para kader PII diharapkan bisa menjadi agent of change (agen perubahan) di masyarakat masing-masing tentunya perubahan yang positif (naskah pidato pertanggung jawaban ketua umum PW PII Jateng periode 2004-2006).
Oleh karena itulah PW PII Jateng merasa butuh wadah yang sesuai untuk publikasi di masyarakat jawa tengah. Publikasi ini sebagai ajang aktualisasi agar image atau persepsi masyarakat jawa tengah tentang PII dapat positif. Bukan sebagai ajang untuk membangga-banggakan diri di tengah-tengah masyarakat.
Syahrial Faza, alumnus FISIP UNDIP

selengkapnya...