Melihat perkembangan isu mengenai diputarnya film Fitna yang diputar melalui internet dan disutradarai oleh Geert Wilders seorang anggota parlemen Belanda, banyak orang yang menyayangkan bentuk provokasi yang ia lakukan karena sikapnya yang Islam phobia, ketakutannya yang berlebihan ini muncul karena ia menganggap bahwa Islam merupakan agama intoleran dan mengancam keberadaan peradaban Eropa yang ia simbolkan dengan freedom (kebebasan). Sikap Geert Wilders provokatif dan menghasut (menebar kebencian) ini dikecam oleh tidaknya hanya kalangan Islam namun juga oleh kalangan non-Islam seperti Perdana Menteri Belanda Jan Pieter Balkenende dan bahkan juga Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Sungguh menarik melihat permasalahan ini karena ternyata di Eropa sendiri Islam dianggap oleh sebagian kalangan sebagai kekuatan yang akan bangkit dan mengancam Eropa.
Terlepas dari sikap Geert Wilders yang Islam phobia dan pemahamannya yang salah mengenai ajaran Islam itu, ternyata pada era pra kemerdekaan Indonesia terdapat pula ketakutan Pemerintah Hindia Belanda yang menjajah Indonesia pada saat itu, sampai-sampai Pemerintah Hindia Belanda menugaskan salah seorang cendekiawannya yang bernama Christian Snouck Hurgronje untuk melakukan penyelidikan dan mempelajari dengan seksama mengenai kondisi masyarakat Islam di Indonesia agar dapat diketahui kelemahan apa yang dimiliki oleh umat muslim di Indonesia. Snouck Hurgronje adalah seorang Penasihat Pemerintah Hindia Belanda dalam bahasa Timur dan hukum Islam sejak bulan Maret tahun 1819 sampai ia meninggal dunia pada tahun 1936, peranan yang dilakukannya besar sekali. Melalui pengetahuan Islam yang dikuasainya ia telah berhasil benih teori-resepsi dan merumuskan Politik Islam (Islam Policy) yang dijalankan oleh pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia[1].
Hasil penyelidikannya itu kemudian menjadi suatu acuan bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk membuat suatu Islamic Policy bagi masyarakat Islam di Indonesia yang menjadi jajahannya. Prof. H. Muhammad Daud Ali S.H. seorang Guru Besar Fakultas Hukum UI menyebutkan Pokok-pokok Pemikiran Snouck Hurgronje dalam Politik Islam (Islam Policy) Pemerintah (Hindia) Belanda yang digunakan dalam mengendalikan dan menghadapi ummat Islam Indonesia, adalah sebagai berikut[2].
1. Mengenai urusan ubudiyah (ibadah), yakni hubungan manusia dengan Tuhan, pemerintah Hindia Belanda harus memberikan kemerdekaan seluas-luasnya kepada orang-orang Islam Indonesia untuk melakukannya. Menurut Snouck Hurgronje, potensial orang Islam memang berbahaya bagi pemerintah jajahan. Potensi bahaya itu baru benar-benar menjadi bahaya kalau kemerdekaan agama mereka terganggu. Kalau kemerdekaan agama itu tidak diganggu, tidak akan terjadi apa-apa. Menurut Snouck, kalau orang Islam dilarang melakukan ibadah agamanya, mereka akan menjadi sangat fanatik. Bahkan mungkin mereka akan mengasingkan diri dari masyarakat biasa dan mendirikan ”perkumpulan tarikat” yang mengajarkan perang sabil. Karena itu, katanya biarkan kaum muslimin beribadah semerdeka-merdekany a. Biarkan mereka sembahyang dan berpuasa dan jangan campuri salat Jum’at mereka. Jangan sempitkan jalan mereka untuk pergi haji ke Mekkah, sehingga mereka benar-benar merasa merdeka dalam urusan ubudiyah (ibadah) itu. Karena mereka merasa merdeka, mereka akan lalai sendiri mengerjakannya, atau sekurang-kurangnya mereka tidak merasa bahwa mereka diperintah oleh bangsa yang beragama lain. Snouck Hurgronje mengingatkan pemerintahnya akan dalil yang menyatakan bahwa ”satu kerajaan mungkin saja tegak dalam kekufuran, tetapi tidak mungkin tetap berdiri dalam kezaliman.”
2. Dalam urusan muamalah (kemasyarakatan) yakni mengenai hubungan antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, pemerintah (Hindia) Belanda harus menghormati lembaga-lembaga (hukum) yang telah ada, sambil membuka kesempatan kepada orang-orang Islam untuk berangsur-angsur berjalan ke arah Belanda. Uasaha ini harus digalakkan, katanya. Menurut Snouck Hurgronje, ruh Islam mungkin saja akan bangkit, kalau orang Islam merasa diganggu mengenai (hukum) perkawinan, kewarisan mereka dan yang berhubungan dengan itu. Karena itu, katanya hormatilah lembaga-lembaga (hukum) mereka yang diletakkan di bawah pengawasan kepala-kepala (adat) dan raja-raja mereka sendiri. Dengan jalan begitu, demikian Snouck Hurgronje meneruskan nasihatnya, orang-orang Islam akan merasa diperintah oleh hukum dan raja-raja mereka sendiri. Dengann demikian tidak akan timbul cita-cita kenegaraan dengan mendirikan pemerintahan secara Islam. Apalagi kalau ditetapkan, sekurang-kurangnya dianjurkan dengan cara setengah resmi, agar dalam mengurus perkawinan dan kewarisan dipergunakan kitab-kitab yang tidak dimasuki pengaruh ”modern” yang menimbulkan semangat. Dan, demikian Snouck Hurgronje melanjutkan nasihatnya, kalau anak-anak orang Islam (itu) diberi lagi didikan Barat yang menjauhkan mereka dari agamanya, mereka akan terlepas dari genggaman (unsur-unsur) Islam (geemancipeerd van het Islam stelsel). Dengan demikian, besar harapan mereka akan menyatukan perasaannya dengan golongan yang memerintah mereka dan akan terjadilah satu asosiasi hubungan peradaban, kebudayaan dan politik antara yang memerintah (Belanda) dengan yang diperintah (Bumiputera) . Bila asosiasi ini tercapai, tidak adalah lagi yang akan menyusahkan pemerintah (Belanda). Dan manakala telah tercapai hubungan yang rapat antara penduduk bumiputera dengan kecerdasan Belanda, maka tidak adalah lagi yang akan disusahkan karena masalah kaum muslimin (di Hindia Belanda), kata Snouck Hurgronje.
3. Urusan yang berhubungan dengan soal politk harus ditolak. Pemerintah (Hindia Belanda) harus memberantas cita-cita yang bersifat Pan-Islamisme yang hendak membukakan pintu bagi kekutan-kekuatan asing untuk mempengaruhi hubungan Pemerintah Belanda dengan rakyatnya orang Timur. Oleh karena itu, kata Snouck, jagalah agar jangan ada pengaruh luar yang masuk. Untuk mencegah itu pemerintah harus mempergunakan aparat dan alat kekuasaannya (M. Natsir, 1955: 186).
Sikap Islam Phobia yang dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan Islam Policy untuk umat muslim di Indonesia ternyata cukup efektif untuk mempertahankan kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia, karena ternyata Indonesia baru dapat merdeka pada tahun 1945, meskipun demikian Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia beberapa tahun kemudian setelah itu berdasarkan perjanjian Konferensi Meja Bundar. Selain itu menurut H.J. Benda dalam disertasinya yang berjudul The Crescent and the Rising Sun di tahun 1958, ia menyoroti secara luas dan mendalam dan sampai pada kesimpulan Politik Islam (Islam Policy) yang disarankan oleh Snouck Hurgronje, diterima dan dilaksanakan oleh pemerintah Kolonial Belanda itu telah membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan Islam dan hukum Islam di Indonesia[3]. Apabila diamati isi dari Islam Policy Kolonialis Belanda tersebut mampu secara cerdik memetakan kelemahan umat Islam Indonesia dengan mempelajari secara seksama karakter umat Islam pada saat itu dengan tidak mengutak-atik masalah ubudiyah dan menjauhkan sebisa mungkin kesadaran umat di bidang-bidang lainnya atau sebisa mungkin menahan supaya tidak terjadi modernisasi di kalangan umat Islam sehingga umat Islam Indonesia mampu bangkit melawan kolonial Belanda.
Saat ini Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam (88,09 % menurut sensus 1980)[4] telah merdeka dengan berhasil menumbangkan kolonialisme Belanda di Indonesia, hal ini juga tidak lain salah satunya adalah karena lahirnya kesadaran umat Islam di Indonesia untuk bangkit dalam berbagai bentuk gerakan perlawanan guna melawan Kolonialis Hindia Belanda yang menerapkan strategi Islam Policy yang dijiwai Islam Phobia guna meredam semangat perlawanan umat Islam Indonesia tersebut. Munculnya gerakan-gerakan modern Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Syarikat Dagang Islam/Syarikat Islam serta gerakan-gerakan Islam yang lainnya yang membasiskan diri pada pembangunan pendidikan, pelayanan kesehatan masyarakat, ekonomi kerakyatan dan kesadaran di bidang politik adalah motor penggeraknya yang kemudian menginspirasi lahirnya gerakan-gerakan rakyat Indonesia menuntut kemerdekaan Indonesia dari Kolonial Belanda. Hal ini adalah strategi jitu umat Islam Indonesia dalam mengadapi Kolonial Belanda yang telah menancapkan kuku kekuasaan di Indonesia dengan strategi Islam Policy yang berusaha menina bobo-kan umat Islam Indonesia. Gerakan-gerakan Islam yang membasiskan diri pada pembangunan pendidikan, pelayanan kesehatan masyarakat, ekonomi kerakyatan dan kesadaran di bidang politik telah secara tepat menerapkan strategi jangka panjang guna mempersiapkan generasi-generasi muda Bangsa Indonesia untuk menjadi sebuah basis gerakan intelektual yang mampu bersikap kritis terhadap nasib bangsanya yang terjajah oleh kekuatan kolonial penjajah Belanda.
Sikap Islam Phobia ini memang patut disayangkan, pada era pra kemerdekaan Indonesia sikap Islam Phobia ini termotivasi karena adanya kepentingan penjajahan di tanah air Indonesia sehingga menimbulkan ketakutan jika masyarakat Islam Indonesia bangkit melawan penjajahan Belanda di Indonesia, sedangkan Islam Phobia Geert Wilders lahir karena ia takut bahwa perkembangan Islam saat ini akan mengancam peradaban Eropa ditambah adanya persepsi salah yang ia anut bahwa Islam adalah agama intoleran.
Kebangkitan Islam meskipun terlihat berjalan dengan tertatih-tatih saat ini oleh sebagian kalangan Eropa dianggap sebagai suatu keniscayaan, namun persepsi negatif bahwa hal ini akan mengancam peradaban Eropa adalah hal yang perlu dipertanyakan kembali, karena apabila kita menengok ke belakang pada zaman abad kegelapan Eropa, Eropa mengalami penderitaan karena peradabannya yang tidak berkembang terutama di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan sehingga rakyatnya mengalami penindasan oleh pihak penguasa dan kemalangan karena dilanda berbagai musibah, seperti wabah penyakit dan kelaparan. Di lain pihak terdapat peradaban Islam yang berkembang, salah satunya adalah Granada yang berada di jazirah Spanyol yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan kala itu, pada masa itu pula banyak mahasiswa di universitas- universitas Granada adalah orang-orang eropa sendiri sehingga cendikiawan Islam kala itu seperti Ibnu Rusd (Averos), Ibnu Sina (Avicena), Al Jabar dan lain sebagainya adalah sarjana-sarjana Islam yang tidak asing di telinga mereka. Pada saat peradaban Islam mengalami kemunduran, para sarjana-sarjana Eropa menerapkan ajaran-ajaran para sarjana Islam guna menginspirasi renaissans atau abad kebangkitan di Eropa. Dengan melihat fakta sejarah ini, maka dapat dikatakan bahwa adalah tidak beralasan jika Islam akan mengancam peradaban Eropa bahkan sebaliknya Islam telah membawa pengaruh positif terhadap kemajuan peradaban Eropa.
Mengenai persepsi Islam sebagai agama intoleran dan bersikap destruktif hal ini dikarenakan Geert Wilders tidak melihat Islam secara utuh karena dengan jelas ajaran Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap toleran[5] dan menjauhi sikap yang destruktif[6], bahkan persepsi itu dengan adanya film Fitna ditengarai sebagai bentuk provokasi kepada umat Islam agar terpancing untuk bersikap emosional sehingga bertindak destruktif untuk selanjutnya dapat dijadikan alat legitimasi bagi adanya persepsi Islam sebagai agama intoleran dan cenderung kepada kekerasan sedangkan di sisi lain ia menggunakan argumen bahwa perbuatannya adalah sah karena itu merupakan suatu bentuk kebebasan berekspresi, hal ini adalah sebuah strategi jebakan yang patut diwaspadai oleh umat Islam.
Meskipun demikian bukan berarti umat Islam harus bersikap pasif dalam menangani permasalahan yang dihadapi, bahkan umat Islam dituntut untuk responsif dalam bersikap sehingga menunjukkan adanya kewibawaan dan kepedulian terhadap masalah tersebut. Namun perlu diingat setiap langkah yang diambil untuk menyikapi permasalahan ini haruslah memperhatikan aturan-aturan hukum yang berlaku (baik hukum nasional yang berlaku di mana umat Islam tersebut berada maupun hukum Internasional) serta menghindarkan diri dari tindakan yang bersifat anarkhis dan destruktif sebagaimana cerminan dari ajaran Islam itu sendiri.
Harus ada dua pendekatan guna menangani persoalan ini, yang pertama pendekatan Government (G) to Government (G), yakni Pemerintah negara-negara muslim (termasuk di dalamnya Indonesia) harus bersikap responsif menyikapi masalah ini dengan sekuat tenaga secara kompak dan bersama-sama menggunakan seluruh kemampuan diplomatiknya terhadap Pemerintah Belanda dengan memperhatikan prinsip-prinsip Hukum Internasional. Yang kedua, pendekatan People (P) to People (P), hal ini tidak hanya terbatas dilakukan oleh umat Islam di negara-negara Islam dan mayoritas beragama Islam melainkan juga dapat dilakukan oleh umat Islam di negara-negara yang mayoritasnya adalah non-muslim, seperti di negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat di mana meskipun secara presentase adalah minoritas namun secara jumlah cukup besar, sebagai contoh jumlah penduduk Amerika Serikat yang beragama Islam diperkirakan berjumlah 6 (enam) juta orang dan konon kabarnya seiring dengan berjalannya waktu terus bertambah, jumlah ini bisa jadi lebih banyak dari jumlah penduduk negara-negara Arab Islam yang memliki jumlah penduduk sedikit seperti Kuwait. Umat Islam dapat melakukan suatu aksi berupa tindakan counter opini terhadap persepsi yang salah mengenai ajaran Islam sehingga masyarakat non-muslim memperoleh gambaran yang utuh mengenai Islam, hal ini juga harus secara kompak dan bersama-sama dilakukan dengan memperhatikan hukum yang berlaku sehingga umat Islam tidak terjebak pada perilaku anarkhis dan destruktif, etika-etika dalam berdakwah bisa dijadikan rujukan oleh umat Islam dalam melakukan counter opini. Bahkan bagi umat Islam yang berada di Belanda sangat dianjurkan untuk dapat melihat masalah ini secara jernih dengan perspektif hukum pidana, apa yang diperbuat oleh Geert Wilders dengan dengan melaporkan hal ini kepada pihak Kepolisian Belanda dengan alasan bahwa Film Fitna yang dibuat oleh Geert Wilders adalah perbuatan pidana berupa haatzaaien (menyebarkan kebencian) sebagaimana diungkapkan oleh advokat top Belanda Gerard Spong[7] dengan demikian ia dapat diadili di depan pengadilan sesuai hukum yang berlaku.
Patut diingat bahwa kebangkitan umat Islam saat ini tampaknya memang terus terlihat seiring berjalannya waktu, hal ini ternyata tidak hanya disadari oleh internal umat Islam itu sendiri melainkan juga oleh kekuatan-kekuatan di luar umat Islam. Bahkan lebih daripada itu ada sebagian kalangan yang memandang negatif kebangkitan Islam ini dengan bersikap Islam Phobia sehingga berupaya menebarkan benih-benih kebencian terhadap Islam. Tampaknya umat Islam saat ini menghadapi tantangan untuk dapat menunjukkan konsep ajaran rahmatan lil alamin kepada pihak-pihak di luar Islam, dakwah rahmatan lil alamin ini tentunya tidaklah akan mengurangi wibawa umat Islam melainkan akan dapat menarik simpati pihak-pihak di luar Islam yang selama ini sudah terlanjur dijejali berbagai macam persepsi yang salah mengenai ajaran Islam. Namun berhasil tidaknya tentu kembali kepada umat Islam itu sendiri sebagai pengemban risalah dakwah Islam yang mulia.
Wallahualam bi sawwab.
* oleh Rimas Kautsar, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan
[1] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. 9, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 15-18.
[2] Ibid. Hal. 12-13.
[3] Ibid. Hal. 15.
[4] Ibid. Hal. 5.
[5] Al Qur’an Surat Al Kafirun (109) ayat 6. “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
[6] Al Qur’an Surat Al-A’raf (7) ayat 74. “ Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ’Ad dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit kamu pahat pahat menjadi rumah-rumah. Maka, ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.”
[7] “Wilders: Islam Harus Ditaklukkan,” http://www.detiknew s.com/index. php/detik. read/tahun/ 2008/bulan/ 03/tgl/28/ time/074907/ idnews/914633/ idkanal/10, 31 Maret 2008.
Search
01 April 2008
Kontoversi Isu Film Fitna dalam Perspektif Islam Phobia dan Pengalaman Umat Islam Indonesia.*
Diposting oleh media-pelajar di 16.32.00
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar